![]() |
Pengurus KONI Kota Pariaman tanpa seorang pun PNS di dalamnya. (Foto : Nofrialdi Nofi Sastera) |
Akhir-akhir ini masalah boleh tidaknya ASN
(Aparatur Sipil Negara) jadi pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) kembali hangat
dibicarakan. Apalagi KONI
Provinsi Sumatera Barat bahkan telah menyurati seluruh KONI Kabupaten Kota agar
merevisi susunan pengurusnya. Intinya, tidak ada lagi ASN (dulu istilahnya PNS
– Pegawai Negeri Sipil) yang rangkap jabatan menjadi pengurus KONI.
Sebagai pionir dan
contoh, KONI Sumbar juga telah melakukan revisi kepengurusannya. Sekitar 10
orang pengurusnya yang berstatus Pegawai Negeri dan TNI Polri, dengan berat
hati harus terkena revisi dimaksud. Tentunya tidak mudah untuk melakukan itu. Karena
selama hampir satu tahun masa kepengurusan berjalan, prinsip saling mengisi, kompak
dan kebersamaan selama ini sudah terjalin begitu erat. Untunglah akhirnya semua pengurus
yang bersatus ASN
dan TNI Polri yang terkena revisi dimaksud dapat menerima dengan lapang dada.
Kemaren ada sebuah postingan dari
Bapak Hendri Neldi (Dosen di salah Perguruan Tinggi Negeri di Sumbar) yang menulis di laman facebooknya tentang sebuah
renungan dari rekannya Bapak
Prof. Eri Barlian yang sebelum ini juga pengurus KONI dan sampai
sekarang masih pengurus
di beberapa cabang olahraga. Inti
postingannya menyebutkan bahwa dengan tidak bolehnya ASN menjadi pengurus
(di postingan itu disebutkan kata pembina) di KONI, maka ASN vakum
membina cabang olahraga prestasi.
(Suatu renungan dari
Sobatku Prof. Dr. Eri Barlian, M.SI untuk PNS. Dengan kondisi olahraga saat ini
khususnya Sumatera Barat yang tidak membolehkan ASN untuk membina di Koni yang
bertentangan dengan UU No 3 tahun 2005 perlu menjadi perhatian serius untuk
sementara fakum membina cabang olahraga prestasi, kita fokuskan untuk olahraga
pembelajaran, kesegaran jasmani dan rekreasi). Begitu bunyi kutipan
asli dari postingan
dari Bapak
Hendri Neldi tersebut.
Lalu ada
apa sebenarnya dalam hal ASN dan juga Pejabat Publik dilarang rangkap jabatan sebagai
pengurus olahraga ini? Apakah ada yang salah?
Sebelum menjawab mari kita
cermati UU No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional khususnya
Pasal 40 yang berbunyi Pengurus komite
olahraga nasional, komite olahraga provinsi, dan komite olahraga kabupaten / kota
bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan
publik.
Lalu baca pula Surat Edaran
Menteri Dalam Negeri Nomor 800/2398/SJ tanggal 26 Juni 2011 tentang rangkap
jabatan yang menyebutkan “Melarang Kepala
Daerah, Pejabat Publik, termasuk Wakil Rakyat maupun ASN rangkap jabatan pada
organisasi olahraga seperti KONI dan Induk Olahraga”
Juga ada Surat Edaran Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor. B-903/01-15/04/2011 tertanggal 4 April 2011
tentang Hasil Kajian KPK yang menemukan
rangkap jabatan Pejabat Publik pada penyelenggaraan keolahragaan di daerah
dapat menimbulkan konflik kepentingan
Bahkan ada lagi Hasil
Yudisial Review dari Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-V/2007 terhadap Uji
Materi Pasal 40 UU No. 3 tahun 2005 Tentang Keolahragaan serta Pasal 56
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 yang diajukan Saleh Mukadar Ketua KONI
Kota Surabaya. Kesimpulannya permohonan Yudisial Review dari Saleh Mukadar
ditolak!
Terakhir ada lagi surat
edaran Menteri Dalam Negeri Nomor X.800/33/57 tertanggal 14 Maret 2016 perihal
rangkap jabatan Kepala Daerah / Wakil Kepala Daerah, Pejabat Struktural dan
Fungsional, serta Anggota DPRD dalam
kepengurusan KONI. Hal itu pula kemudian yang menjadi
dasar keluarnya Surat Edaran Gubernur Provinsi Sumatera Barat Nomor
426/VI/2368/2016 tertanggal 6 Juni 2016 perihal yang sama dengan surat Mendagri
tersebut.
Dari
berbagai aturan baik itu Undang-Undang maupun Surat Edaran dan juga Hasil
Yudisial Review di atas, masihkah kita mempertanyakan kenapa ASN dilarang
rangkap jabatan jadi pengurus KONI? Sebab sesungguhnya dalam masalah ini
kuncinya hanya satu saja yaitu sejauh mana kita patuh dan taat dengan aturan!
Keluarnya
surat edaran Edaran Gubernur Provinsi Sumatera
Barat Nomor 426/VI/2368/2016 di atas jelas menunjukkan bahwa Gubernur Irwan
Prayitno adalah orang yang komit dan taat dengan aturan serta tidak mau
bermain-main dengan masalah hukum. Sebab tak bisa dipungkiri ujung dari
taat atau tidak taatnya kita kepada aturan adalah hukum.
Lalu,
kalau ada yang mempertanyakan kenapa di beberapa provinsi lain, masih ada pejabat
publik dan ASN jadi pengurus KONI, jawabannya sederhana saja. “Tangan mancancang, bahu nan mamikua”.
Artinya, kalau pun itu ada terjadi di daerah lain, ya itu urusan mereka di provinsi
lain itu. Soal mereka nanti akan tersangkut paut dengan urusan hukum, ya itu
adalah konsekwensi dari tindakan yang telah mereka lakukan.
Lalu
kembali pada postingan Bapak Hendri Neldi di atas yang menyebutkan vakum untuk
mengurus olahraga prestasi, menurut Kami, itu silahkan saja. Itu adalah
pilihan. Meski Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 800/2398/SJ tanggal 26
Juni 2011 juga melarang ragkap jabatan pada Induk Olahraga (selain KONI), namun
di Sumatera Barat sejauh ini, pelarangan dimaksud belum sampai kepada Induk
Olahraga atau Pengprov dan Pengcab Cabor.
Artinya, semuanya
kini tergantung kepada kita menyikapi berbagai aturan di atas. Bagi ASN atau
pejabat publik yang tidak mau lagi mengurus olahraga baik olahraga prestasi
maupun rekreasi, silahkan. Mau hanya mengurus olahraga rekreasi saja juga
silahkan. Tidak mau mengurus olahraga sama sekali juga silahkan. Karena sekali,
itu adalah pilihan.
Bahwa
karena seseorang atau sekelompok orang tidak mau (atau tidak bisa karena
terhalang aturan) mengurus olahraga maka prestasi olahraga Sumbar akan langsung
anjlok, rasanya tentu tidak bisa dikalkulasikan seperti itu. Sebab masih banyak
pensiuan ASN atau pun teknokrat olahraga yang tidak ASN yang masih berkenan
mengurus olahraga ini. Insya Allah, kalau kita semua berpikiran sama untuk memajukan
olahraga Sumbar, persoalan jadi pengurus KONI atau tidak, harusnya itu bukanlah
ukuran
Memang
harus diakui, bahwa keberadaan ASN terutama yang berbasis teknokrat olahraga
sangat dibutuhkan di dunia olahraga. Tapi di balik semua kebutuhan di atas,
tentunya patokan utama yaitu peraturan haruslah tetap menjadi garisan. Bahwa Kepala
Daerah kita di Sumbar lebih memilih melarang ASN dan Pejabat Publik mengurus
KONI, itu juga sebuah pilihan. Bahwa kalau dikatakan tanpa ASN yang teknokrat
olahraga nanti prestasi olahraga akan terjun bebas, itu juga sebuah
konsekwensi. Meskipun hal itu belum juga bisa dikatakan seratus persen betul.
Sesungguhnya,
dalam kondisi olahraga Sumatera Barat saat ini cukup berprestasi, adalah
kewajiban kita bersama untuk bagaimana prestasi itu lebih baik lagi. Bahwa
harus menjadi pengurus KONI atau tidak, sekali lagi itu bukanlah ukuran. Karena
kalau kita berpikir demi nama baik Sumatera Barat, maka tak ada jalan lain
selain kita bersama-sama saling mendukung dan bahu membahu dalam membina prestasi
olahraga.
Sesungguhnya
di zaman now saat ini, tidak masanya
lagi suatu tindakan baik itu dalam bentuk pekerjaan atau pernyataan ke publik dilakukan
tanpa perhitungan. Apalagi kalau apa yang dikerjakan atau dibicarakan itu
bukanlah sesuatu yang kita pahami secara detail. Terlebih lagi, kalau itu juga akan
berimplikasi hukum.
Saya
melihat, pilihan terbaik di zaman sekarang adalah mari berpikir cerdas dan
berkarya ikhlas. Kalau memang ada sesuatu yang ingin dikerjakan baik itu berupa
pekerjaan atau pun sebuah pernyataan yang akan dikomentari, sebaiknya
ditelusuri dulu latar belakang dan asal muasalnya. Kalau memang sudah dipahami,
ayo kita kita ikhlas. Apakah mau ikut berkarya atau pun tidak, pilihannya ada
pada kita masing-masing. Itu saja. (Nofrialdi
Nofi Sastera - Praktisi dan Pengamat
Olahraga)
Tidak ada komentar: